Kamis, 22 Januari 2009

Sajak-sajak Nirwan Dewanto

Gong

Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, “Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku.” Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.

Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.

Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.

Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.

Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.

Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, “Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!”

Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.

Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, “Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung.” Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.

Selamat jalan, Ratna Manggali.

Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.

Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.

Tak mampu aku memuasi dahagamu.

(2006)



Torso Pualam

—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)

Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.

Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, “Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak.”

Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. “Ambil pahatmu,” kata dia pada si bujang. “Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara.”

Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.

“Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah.”

Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang

kian tampak purba itu.

Makin nyaring bunyi pahatnya.

Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah…

Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.

Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.

Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.

Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.

Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.

(2006)



Gandrung Campuhan

Kuminum apa dari cawanmu

—sari limau atau arak madu—

tetap saja kusesap tilas bibirmu.

Habis senja makin dahaga aku.

Kuiri pada kalung manikmu,

bebulir merah tak kunjung ungu,

terus saja melingkari lehermu.

Sedang lenganku, lengan perihku

membelit sebutir jantung hanya,

jantung semu milikmu. Segera sirna

ia, begitu kau membunuh surya

pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.

Kucoba roti apa saja. Roti udara

atau roti batu. Tapi dengan selai ceri

olesan tanganmu, aku akan tega

melupakan segala nasi, segala kari.

Silau oleh album negeri salju, kau

menarik tabir magnolia. Mengigau

aku seperti batang neon terendam

suara kekasihmu separuh malam.

Telah tercuri wajahmu di Singapadu

—Durga atau Maria dari Magdala?—

sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu

memanggul salib kayu nangka.

Di restoran itu pun segera terpercik bara

ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba

dari lukisan Lempad, menjelang pagi,

tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,

pada pelepah pisang kau sigap menari,

pada talam Siam kautahan sang koki,

hingga siap aku mencicipimu, mengulummu

dengan lidah berbalur kaldu empedu.

Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba

oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,

lekas ia terakan namaku pada kedua susumu

dengan getah pala dari segenap pembuluhku.

Matamu badam biru dari bawah seprei

—sepasang terakhir kubawa mati—

sambil kupahatkan busur pinggangmu

pada cermin berlumur darah lembu.

(2006)



Madah Merah

Terlalu dekat kau ke lumbung padi

sehingga rambutmu tak kilau lagi.

Terlalu pagi mungkin kauminta aku

mengunggah sembilu ke tepian dagu.

Terlalu gabah kutampi bebayangmu,

terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.

Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki

meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.

Layu tanganku seperti kembang sepatu

tak lagi terperam di sebarang rambutmu.

Pada payudaramu bibirku akan lupa,

pada ani-ani buku jarimu berutang luka.

Lempang pematang oleh mata dara,

terbang kiambang oleh mara buah ara,

tapi tak lagi menjulai malai jantungku

sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.

(2006)



Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini

dan cakram matahari

kukekalkan sepetak roti

dengan luka ujung jari.

Antara meja tohor ini

dan gerimis sore nanti

lap penuh bara birahi

menempel ke pucat pipi.

Antara kilau sungai itu

dan gelap geligi beku

seraya cemburu, kuburu

ke ujung garpu, rambutmu,

dan ke mata pisau, matamu.

Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)


Nirwan Dewanto tinggal di Jakarta. Sebagai penyunting, ia berkhidmat untuk, antara lain, Lembar Sastra Koran Tempo Minggu dan Jurnal Kebudayaan Kalam.

Blambangan

Oleh Hasan Basri

Banyuwangi tak bisa dipisahkan dengan nama Blambangan. Karena secara historis di Banyuwangilah kekuasaan kerajaan Blambangan terakhir berada. Blambangan adalah sebuah kerajaan yang sering luput dari perhatian para ahli sejarah. Lebih kuat kesannya sebagai dongeng dari pada kenyataan sejarah. Padahal Blambangan memiliki peranan yang berarti dalam percaturan politik sosial budaya jawa pada khususnya. Sering tidak disadari bahwa kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Blambangan adalah kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan VOC serta Blambanganlah kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah Belanda di pulau Jawa. Akibat peperangan yang tiada henti baik dengan Mataram, Bali maupun Belanda menyebabkan tanah Blambangan kehilangan penduduk dalan jumlah yang besar, baik meninggal karena peperangan maupun sebagai tawanan perang, sedemikian rupa hingga kejayaannya di masa lampau terlupakan.[1]

Sejak awal berdirinya, berbagai persoalan telah menimpa kerajaan Blambangan. Seakan kerajaan Blambangan dilahirkan untuk mengalami peperangan dan didera kesengsaraan. Bermula dengan Majapahit. Hubungan diplomatik yang tidak harmonis mengobarkan perang Nambi pada tahun 1316, perang Sadeng tahun 1331, tujuh puluh tahun berikutnya berkobar peperangan dahsyat selama enam tahun yang dipicu perebutan kekuasaan dikenal dengan Perang Paregreg.[2] Disusul tahun-tahun selanjutnya peperangan yang melelahkan melawan penguasa Mataram dan Bali serta peperangan dengan Kompeni Belanda.[3]

Ketika kekuasaan Majapahit melemah kemudian berganti pemerintahan Islam Demak, Pajang dan Mataram, penguasa Bali merasa berkepentingan terhadap Blambangan untuk membendung pengaruh Islam. Maka mulailah babak baru hubungan yang pelik antara Blambangan Mataram dan Bali. Blambangan membutuhkan Bali untuk menghadapai invasi Mataram yang kuat, tapi Blambangan juga ingin melepaskan pengaruh Bali.

Tidak hanya peperangan dengan penguasa luar, peperangan yang terjadi di istana (nagari) akibat perebutan kekuasaan juga sangat mewarnai sejarah Blambangan. Sejak Pangeran Kedawung mangkat dan digantikan oleh anaknya yaitu Tawang Alun pada tahun 1655 perebutan kekuasaan dalam istana sering terjadi. Pemberontakan Mas Wila kepada Tawang Alun, pemerintahan Pangeran Patih Sasranegara yang kisruh, pemerintahan Macan Pura yang singkat kemudian diangkat Pangeran Danureja, dan akhirnya masa pemerintahan Pangeran Danuningrat yang tragis. Semuanya menunjukkan hubungan yang pelik saling keterkaitan dan saling membutuhkan antara Blambangan dan Bali di satu pihak dan pengaruh Mataram serta Pasuruhan di pihak lain.[4]

Keadaan di Blambangan akhirnya diperkeruh oleh kehadiran Belanda yang didorong demi kepentingan pengamanan perdagangannya yang kemudian berlanjut pada keinginan menguasai sumber daya alam. Sumber daya alam tidak akan bisa dikuasai dengan bebas tanpa penguasaan di bidang politik. Maka Belandapun turun lebih dalam pada bidang kekuasaan.

Belanda menganggap penting dan strategis untuk menaklukkan dan menguasai sendiri wilayah Blambangan setelah Inggris mendirikan kantor dagang di pantai timur Blambangan. Dimulai dengan menduduki Banyualit pada tahun 1767 kemudian menguasai Ulu Pangpang dan Lateng Rogojampi, maka mulailah peperangan yang paling mengerikan yang dilakukan VOC terhadap rakyat Blambangan pada waktu itu. Baik peperangan yang terjadi di Blambangan barat maupun peperangan yang terjadi di Blambangan timur. Namun rakyat Blambangan dengan gigih melakukan perlawanan yang luar biasa.

Kondisi konflik yang berkepanjangan di Blambangan baik konflik intern keluarga istana maupun konflik akibat pendudukan dan penyerangan kekuasaan asing melahirkan pribadi-pribadi istimewa yang menempatkan diri pada posisi kunci dan memegang peranan penting dalam konflik tersebut. Maka perlu diketahui siapakah pribadi-pribadi istimewa itu dan bagaimanakah peran yang diambilnya. Khusunya bagaimanakah peranan tokoh wanita dalam percaturan sejarah Blambangan.

Diantara tokoh-tokoh wanita Blambangan yang penting dikaji adalah tokoh pejuang perempuan yang bernama Sayu Wiwit. Dengan ketokohannya Sayu Wiwit tidak hanya mampu menggerakkan prajurit wanita akan tetapi ia juga memimpin dan menggerakkan prajurit laki-laki. Ia dengan gagah berani memimpin peperangan yang terjadi Blambangan barat yakni peperangan yang terjadi di Puger (Jember) dan di Sentong (dekat Bondowoso) yang terjadi pada tahun 1771 maupun peperangan yang terjadi di Blambangan timur yakni peperangan yang terjadi di Bayu pada tahun 1771-1772. Ia yang seorang perempuan dengan gagah berani dan dengan pengaruhnya yang luar biasa mampu memobilisir massa dan menggerakkan para bekel agung untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda. Dan dengan ketokohannya pula ia memimpin peperangan dan menjadi pelindung serta penyemangat spiritual para prajurit serta menjadi penasehat peperangan. Dan akhirnya ia gugur membela tanah airnya di medan pertempuran.

[1] Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995, hal. 1-2.

[2] Tentang penyebab peperangan dan jalannya peperangan, baca Slametmuljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Inti Idayu Press, Jakarta, 1983, Perang Nambi hal. 152-154, Perang Sadeng hal.161-169, Perang Paregreg hal. 224-230.

[3] Tentang perang dengan Mataram dan Bali baca De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Grafitipers, Jakarta, 1989, hal. 237-245. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II hal. 1037-1039. B.r. Anderson, Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudyaan Jawa, Prisma 11 November 1982, hal. 7.

[4] I Made Sujana menganalisa peristiwa ini dengan menimpakan pada sistem pemerintahan di Blambangan yang terpusat pada nagari (ibu kota) yang disebut dengan Nagari Tawon Madu. Kekuasaan Pangeran terhadap wilayah di luar keraton (Jawikuta) yang didelegasikan kepada patih, bekel agung dan patinggi menyebabkan lemahnya penguasaan Pangeran terhadap sumber daya manusia (prajurit, tenaga kerja dll) dan sumber daya alam (tanah pertanaian, perkebunan) yang berada di luar ibukota. Selain itu karena luasnya wilayah dan besarnya kekuasaan bekel agung dan patih menyebabkan juga lemahnya posisi politik Pangeran. Hal inilah yang menyebabkan mengapa di Blambangan sering terjadi pemberontakan terhadap nagari. Pengertian masa Kertayuga di Balambangan beda pengertiannya dengan masa Kertayuga di Mataram. Makna masa Kertayuga di Blambangan hanyalah memiliki pengertian masa-masa tiadanya pemberontakan terhadap istana, tapi di Mataram bermakna lebih luas yaitu masa stabilitas politik dan masa pembangunan dan kemakmuran negara. Lebih lanjut baca I Made Sujana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001.

Kau Menari di Dalam Lautmu

Prosa/Cerpen: Taufiq Wr. Hidayat

“Pada sebuah tepi,” demikian kau awali sebuah ceritamu kepadaku.

“Pada sebuah tepi yang apa?” begitu aku bertanya.

“Pada sebuah tepi laut. Lautan yang mengisahkan tentang sebuah bukit kecil ketujuh yang ditumbuhi pohonan. Pohonan yang tidak pernah terjamah,” katamu sembari menari. Kau melompat-lompat. Agresif. Namun tak menyimpan kegarangan. Daging-daging dari tubuhmu yang gembur rontok ke tanah. Udara dingin. Angin lautan yang terkadang kencang pada sebuah perkampungan tepi laut membawamu terbang.

Kereta api yang bertahun-tahun karatan seolah tak pernah mengabarkan kapan ia akan berangkat. Langit ungu. Bulan separuh. Orang-orang membiru.

Kau masih di situ, menunggu dering dari sebuah wartel yang atapnya berlumut. Sedangkan berita mengenai kampungmu masih terngiang dibawa jerit burung gereja yang lapar. Tentang kampung kelahiran yang diam-diam digadaikan kepada pihak penambang dari pusat. Konon, ikan-ikan dalam mimpimu berenang ke tepi laut, mereka merindukan muara, air tawar untuk sejenak memandikan tubuhnya yang tak akan pernah asin dalam lautan air biru itu. Kau terbangun mendadak. Malam. Dan jam tua mendentangkan waktu yang kembali menyusun bangku-bangku kereta. Ikan-ikan melompat dari dalam kepalamu. Bau hangus kabel yang terbakar menyengat hidungmu dan hidungku.

“Masih dingin dan hujan tak membawa berita tentang cuaca dari tepi hutan,” katamu.

“Tapi, orang-orang masih berkomplot di tikungan. Topinya topi hujan. Jas hujan yang menyala. Dan di sebuah ruang ada yang menawarkan kehangatan, yakni tubuh yang segar serta daging yang ranum. Atau segelas jahe untuk melegakan tenggorokan, atau secangkir wiski yang panas,” kataku tak mengerti.

***

Seorang pejabat mengenakan jam tangan dari emas. Tubuhnya yang bergula seolah becek dan berjatuhan ke lantai. Rapat belum dimulai. Orang yang di tepi jalan itu mengamati dari balik jendela mobil hitam yang kacanya hitam. Ia mengawasi gedung pemerintah dengan tatapan seolah tak berkedip. Hujan masih turun dengan leluasa tanpa menandakan kapan akan berhenti.

Kau masih menari. Daging-daging tubuhmu yang gembur jatuh ke tanah. Kau terus menari seolah kesurupan bagai penari Seblang yang merayakan syukur akan melimpahnya hasil-hasil pertanian. Padahal di saat fajar, orang-orang juga merayakan upacara kematian dengan tarian dengan nyanyian dengan pesta makan dengan seks. Ya. Puncak segala kemegahan adalah seks. Mereka memburu itu. Menduduki kekuasaan, menggali kekayaan, mengukir nama dan keluarga, menggali emas dan menghabisi manusia, tak lain demi puncak kemegahan. Tapi, kau masih terus menari. Menari. Menari. Tertawa lalu meneguk secangkir anggur. Tubuhmu yang becek bergetar-getar lalu rontok, luruh ke bumi. Bumi yang penah menampung kelahiranmu.

“Aku harus pulang,” katamu.

“Ke mana?” tanyaku.

“Pulang ke tepi.”

“Tepi yang mana?”

“Tepi laut. Harum rambut yang terbakar dan harum kabel yang panas membuatku bergairah untuk kembali melayani kegarangan para binatang.”

“Siapa orang-orang itu?”

“Orang-orang itu.”

“Siapa?”

“Orang-orang itu. Orang-orang yang menanam emas di kepalanya.”

Langit hitam. Mendung bergerak pelan-pelan. Hujan mengalir. Seorang tua di tepi jalan, tertatih memikul kecemasan. Asap tembakau mengepul dari sebuah warung. Dan rapat belum dimulai. Sedangkan di luar, seorang lelaki mencurigakan mengawasi gedung pemerintah dari balik kaca mobilnya dengan seksama.

“Kapan rapat dimulai?” tanya seorang lelaki yang bergigi emas.

“Belum. Rapat belum dimulai. Belum,” jawab wanita bertubuh gembur dan mengenakan gelang emas di lengannya.

“Kapan?”

“Sebentar!”

“Segera! Tidak ada waktu lagi! Birahi tidak mungkin ditangguhkan lebih lama lagi, Bu!” ujar lelaki berambut putih dan giginya besar-besar seperti kapak.

“Sabarlah.”

“Baik.”

“Nah.”

“Jangan lama.”

“Tentu.”

Jalanan basah. Hujan terus mengalir. Sedang kau belum selesai menari. Kali ini ada air mata yang ikut mengalir dari kedua tepi matamu.

“Aku akan ke tepi,” kataku padamu.

“Ke tepi mana?” tanyamu.

“Ke tepi matamu.”

“Oh.”

“Ya.”

Jalanan basah. Lampu-lampu gemigil dihajar hujan. Asap tembakau mengepul ke jalanan. Bau parfum dan harum emas yang baru matang.

“Mari melakukan perjalanan,” katamu sambil terus menari.

“Perjalanan?”

“Ya. Sebelum segalanya terlibat dan sebelum segalanya meminta syarat dari waktu yang sekarat dan ruang yang karat. Ayo! Kita lakukan perjalanan.”

“Ke mana?”

“Ke tepi laut. Tepi dari segala tepian yang kehilangan perahu dan ikan.”

Kulihat ikan-ikan berlompatan dari dalam kepalamu. Bau kabel terbakar makin menusuk ke dalam hidungku. Tapi, kereta api malam hari yang belum juga berangkat masih kulihat tergeletak di dalam matamu. Bau amis darah. Darah dari ikan-ikan. Kau tiba-tiba berhenti menari. Diam. Mematung. Daging-daging dari tubuhmu terus berjatuhan makin cepat ke tanah. Rontok. Terus rontok. Namun, seolah daging dari tubuhmu yang becek dan gembur itu tak pernah habis disedot gravitasi bumi. Tiba-tiba kau melompat. Melompat ke dalam laut. Sampai ke dasar laut. Kau menari di situ. Di dasar laut itu.

“Rapat sudah dimulai. Kebijakan negara segera ditetapkan.”

“Bagus.”

Dan orang yang di tepi jalan hujan itu, mengawasi dengan teliti semakin geram semakin sakit hati semakin marah semakin marah semakin marah dari balik kaca jendela mobil hitam.

Dan kau terus menari. Menari di dasar lautan. Dagingmu melecuh dan lecet digerogoti air laut. Tubuhmu menjadi putih. Ya. Air laut. Dan ikan-ikan berenang di dalam kepalamu.

Banyuwangi, 2009


Biodata Penulis

Taufiq Wr. Hidayat, lahir di Banyuwangi. Menulis puisi, esai, dan cerpen di sejumlah media massa lokal dan nasional. Sajak, esai dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Ge-M, Jejak, dll. Sejumlah puisinya telah dibukukan dalam kumpulan sajak tunggalnya berjudul "Suluk Rindu" (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman, 2005). Kumpulan esai dan prosanya berjudul "Banyuwangi Senjakala dalam Kecemasan" (Katarsis, 2005) dan "Kekuasaan dan Kekuatan Rakyat" (Katarsis, 2006). Kini tinggal di Banyuwangi

Waktu Yang Abadi

Oleh Fatah Yasin Noor

Sepagi itu sebujur cacatan hinggap di ranting basah. Pohon nangka seperti ingin menyisih dari kuburan. Ia membisikkan selamat pagi padaku. Salat subuh dua rakaat tadi telah membentuk gelembung udara. Catatan-catatan menggeriap, menggetarkan waktu yang senantiasa mengajak beku. Sebujur catatan itu masih menguapkan mimpi semalam. Aku tahu roda kehidupan ini terus berputar. Secara filosofis, waktu akan terus abadi. Kita yang fana.

Pohon nangka di halaman rumah itu secara perlahan, terus bergoyang. Ia menari bersama angin pagi. Mendung bergantungan di langit. Aku lihat dari balik jendela. Jalan di depan rumahku masih sepi. Tampaknya banyak tetangga yang enggan keluar rumah. Boleh jadi mereka masih terlelap di pulau kapuk. Sepagi ini, dan cuaca yang kurang bersahabat. Jam empat lima belas menit. Jam dinding menempel di ruang keluarga, tak bisa bergerak.

Sebujur catatan itu seperti ingin merangkum puisi. Aku dibikin cemas dan kelabakan. Butir-butir doa telah kulambungkan. Siapa tahu ia telah sampai ke langit. Dari gerak ritual yang takzim. Tapi kata-kata telah meluncur ke udara. Sebentar lagi berhenti sendiri. Notok pada tembok kebuntuan yang permanen. Mereka percaya bahwa karya bukan sesuatu yang instan. Kesetiaan dan kehampaan terus berkecamuk di situ.

Aku menyiapkan sarapan pagi, sendiri, tanpa anak dan istri. Aku pikir pagi sangat menyuakai tema kesyahduan. Ketika embun belum beranjak pergi. Dan kicau burung yang mengucapkan salam. Doaku pagi ini agar selalu mendapat petunjuk, menemukan sejumlah gagasan dari sebuah bahasa yang tengah bangun dari tidurnya. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang pengarang selain melihat bagaimana kata-katanya mengalir deras bersama air bahasa yang bersumber dari dalam dirinya.

Hanya waktu yang abadi. Sebujur kalimat yang terus-menerus ingin merangkum puisi. Geliat kehidupan yang berawal dari kata, dan berakhir dari kata. Seperti seseorang yang telah mengisi pulsanya untuk bisa menghubungi sejumlah kawan-kawannya. Ada sesuatu yang mesti diberitakan. Kekosongan itu lama baru bisa kita isi. Memang belum se abad, tapi rasanya sudah ribuan tahun. Tiba-tiba bahasa itu berganti, kita terpaksa kembali belajar membaca dengan tertatih-tatih. Tertatih-tatih selama berabad-abad. Bahasa baru yang susah menjelaskan realitas. Bahasa yang unsur-unsurnya langsung dipetik dari pohon kuldi. Dengan bahasa itulah aku berjalan. Menelusuri terang dalam kegelapan.

Maka lihatlah, bagaimana orang-orang mengiris semangka. Sore yang ganas itu air matanya bercucuran bersama keringat dingin. Kata-katanya hanyalah pengulangan tanpa makna. Mulutnya selalu terbuka dan dikerubungi lalat hijau. Gajah di seberang lautan tak tampak, lalat di depan mata juga tak tampak. Menangis adalah jalan satu-satunya untuk menyesali diri sendiri. Ada yang berdoa dengan mata terpejam. Hanya bunyi grenang-greneng tak jelas. Napsu menulisnya yang menggebu akhirnya longsor di tengah jalan. Tak ada yang bisa diselamatkan.

Ribuan buku telah dibakar habis. Abad kegelapan menyelimuti seluruh dunia. Indonesia tenggelam. Penduduknya megap-megap kehabisan oksigen. Kecemasan juga menempel di tembok-tembok rumah ibadah. Takmir masjid hanya jadi penunggu yang membosankan. Para jamaah lari entah kemana. Buletin Jumat tidak terbit lagi. Tak ada amal usaha selain dari infaq yang jumlahnya semakin menyusut. Padahal, kalau mau pasti bisa, kata petinggi. Celakanya semua cuma mau mencuri. Pohon-pohon di halaman rumah ibadah itu menggigil. Kuburan di halaman depan masjid kembali menggumam. Bau busuk menyebar sampai ke dalam mihrab.

Sumbangan dari nonmuslim untuk pembangunan masjid ditolak. Konon ada roh gentayangan di situ. Lampu padam, malam jadi semakin gelap gulita. Samsudin kehabisan ide, tak tahu apa lagi yang harus ditulis. Sebab tumbuh pengertian baru dari semua kata. Salah paham semakin merajalela. Banyak orang kepingin begini, yang keluar begitu. Orang-orang sembahyang dirumahnya masing-masing. Sepeda motor keluaran terbaru melirik pejalan kaki. Etalase kaca di show room itu semakin bercahaya. Politik ekonomi rakyat dirancang para petinggi. Kebutuhan hidup terus digoyang dengan iklan. Buku-buku tentang manfaat materi berjejer-jejer di toko buku dan lapak-lapak. Komputer bisa menulis dan berpikir sendiri, mengalahkan pikiran manusia?

Konsentrasinya pada buku yang tengah dibaca buyar seketika. Suara kresek-kresek di dalam tembok. Ia sadar ini menjelang magrib. Di rumah besar itu ia tinggal sendirian. Tak ada bokong semok yang melintas di ruang keluarga. Tak ada lagi jeritan anak-anak. Ia mencoba kembali membaca, tapi sia-sia. Kasihan, ia teringat anak-anaknya. Ia juga teringat kedua orang tuanya. Adakah orang tua yang tidak perhatian pada anak-anaknya? Kebutuhan hidup anak-anak memang belum seberapa. Kelak anak-anaknya akan berbakti kepada orang tuanya.

Aku rela tiak kawin lagi demi anak-anak. Siap berkorban menunda kesenangan dalam keprihatinan. Orang melarat dilarang senang. Mungkin aku setuju orang miskin dilarang kawin. Mencukupi keperluan hidup sendiri saja dulu. Hidup bisa diprediksi lewat ilmu pengetahuan. Bukan berarti kita tak mempercayai adanya mukjizat. Wawasan perlu diperluas dengan melihat keanekaragaman hayati. Boleh juga membaca paradigma baru yang berkembang secara mutakhir.

Orang-orang pada khusuk sembahyang. Pengarang masih setia melungsurkan karya-karyanya. Pikiran dipacu memecahkan fenomena kehidupan yang kompleks ini. Teruskan saja beribadah dengan ikhlas. Segala pandangan filsafat dicerna dengan rasionalitas. Tapi kasihan, tokoh kita tengah bersedih. Ia baru saja ditinggal ayahnya tercinta. Buku sastra, sejarah, filsafat, dan pengetahuan umum lainnya ditinggalkan. Ia hanya tahu bahwa etos dan kesetiaan pada hidup akan terus berkobar. Secara perlahan tapi pasti, perubahan dirinya dalam menulis selaras dengan perkembangan wawasannya. Kini ia banyak berkontemplasi. Kematian bapaknya menjadi sesuatu yang menuntun pikirannya untuk memahami soal misteri maut.

Tanpa terasa ia telah menyelesaikan tulisan panjang, dalam satu napas. Tanpa ada yang memerintah ia menulis catatan-catatan lepas dengan pelbagai tema. Bahasa menyediakan estetikanya yang mengasikkan. Penceritaan dengan gaya solilokui dikomparasikan dengan bentuk-bentuk yang lain. Pembaca boleh terharu bukan lantaran apa yang diceritakannya, tapi karena ia sanggup menulis seperti itu. Ada kemungkinan setiap pengarang mengidap szirofrenia. Ia menulis dalam kegilaan yang taktepermanai.

Sering kali ia menyatakan, bahwa menulis tak lain ialah perang dengan diri sendiri. Kalimat demi kalimat yang ditulis adalah dunia perih pengarang. Karena pengarang harus omes berkutat dengan sekian banyak gagasan dan ide dalam lorong gelap bahasa. Celakanya, semua pengarang akhirnya menyerah kalah. Ia kalah oleh waktu yang abadi. Sementara itu bahasa, kita sadar, akan dimakan waktu. Setiap zaman memiliki bahasa pengucapannya yang selalu berubah. Demikian pula terhadap kehadiran bahasa komputer yang senantiasa terkesan tetap, tapi dalam perkembangannya selalu berubah juga. Pengarang memang selalu memaksakan dirinya untuk terus menulis.

Akhirnya, pengarang berpikir juga soal konsep. Ada bahan dasar yang selalu diolah dalam masakan kata. Semacam adonan kalimat yang masih berupa masakan setengah jadi. Bumbu-bumbu kalimat itu seyogianya tak berlebihan, sehingga masakan bisa dinikmati dengan sedap dan gurih. Kata-kata yang pedas dan pengucapan yang asin hendaknya tak terlalu banyak di masukkan kedalam teks. Pengarang yang baik adalah koki yang berpengalaman. Celakanya banyak pengarang yang sering terlambat makan. Kadang ia asik dengan dirinya sendiri, sehingga masakan di depannya menjadi kering karena lama di atas api kontemplasi.

Kemarin aku bikin nasi goreng dengan lalapannya, irisan timun, potongan tomat dan daging ayam yang digunting kecil-kecil. Aku lihat para penjual nasi goreng juga begitu. Di tengah malam, kadang mie tek-tek lewat depan rumah. Selalu, sakit perut disebabkan oleh makanan. Banyak orang meninggal karena sakit perut. Mestinya, segala makanan yang masuk ke perut kita dijaga kebersihannya dan - yang penting - halal.

Catatan-catatan lepas seperti itulah yang selalu muncul di media massa. Ada berita langsung, berita ringan, dan berita kisah. Sebagai penulis, ia bisa membuat segala bentuk berita, termasuk berita yang jatuh dari langit. Ratusan media massa cetak dan elektronik menjaring para calon penulis yang kelak menjadi handal dengan nalurinya sebagai pemburu berita. Setiap hari, jadwal pelatihan membuat berita yang efektif, efisien, dan enak dibaca terus digelar sejumlah lembaga. Karena menulis ada teorinya, maka setiap calon penulis mesti menguasai teori itu. Mau tak mau semua peserta belajar dari nol lagi. Mengerjakan soal-soal dengan benar. Dulu, ia pernah ikut kursus menulis itu. Hasilnya, sekarang ia bisa menulis secara otomatis. Teori-teori dipelajari untuk kemudian dilupakan. Ia bisa membuat cerita berdasarkan berita yang muncul di media massa.

Alkisah, pada suatu hari, saat burung-burung berkicau di pagi yang ranum, ada sesuatu yang terasa mencair dalam jiwanya. Orang-orang masih pergi ke pasar seperti biasanya. Musim hujan telah tiba beberapa pekan yang lalu. Ia lebih senang berdiam di loteng rumahnya, membuka www. Banyuwangi online.com. Sejumlah puisi rekan-rekannya ia masukkan di situ. Kebiasaan cating sudah lama ia tinggalkan. Apakah ia ikut sedih melihat Jakarta kebanjiran? Musibah tahunan itu masih belum teratasi. Orang-orang yang tinggal di Jakarta: ada yang lama bermimpi bisa merebut pusat. Para intelektual dan petualang politik berpacu dengan waktu untuk bisa menguasai “pusat” itu.

Ia tinggal di Banyuwangi. Barangkali kekuasaan hanya menarik dalam diskursus. Seperti tak ada kemiskinan di situ. Penyair terus berusaha keras menambah beberapa alinea lagi dalam puisinya. Terserah Tuhan, mungkin, penyair itu kelak jadi apa. Bumi dan alam semesta masih berdenyut. Jumlah manusia memang semakin banyak, tapi bumi masih sanggup menampungnya, jangan cemas. Buatlah keturunan sebanyak-banyaknya, jangan takut kelaparan. Program KB (Keluarga Berencana) di era Orba sudah lewat.

Temannya sering mengaku, bahwa ia cepat ngantuk di depan layar monitor komputernya. Ada semacam kemauan yang tiba-tiba longsor diterjang banjir. Ia pikir alangkah baiknya dia membuat cerita ringan saja. Merekam dalam kata-kata sesuatu yang ia lihat. Melihat benda-benda yang ada di depan matanya. Kemudian ia menyusunnya dalam sebuah penceritaan imajis untuk sesuatu yang lain, yang baru. O alangkah indahnya. Ia memang menulis, tapi malas mengumpulkan data. Cakram matahari di siang itu membuat gatal kepalanya. Ia gemas sekaligus keras kepala ikut bersaing menciptakan dunia yang terbaik bagi dirinya.

Aku pikir manusia tercipta dari tanah dan air. Oleh sebab itu jangan sekali-sekali ingin membangkang. Tanah airmu di Indonesia. Perempuan dan laki-laki berkembang di situ, tiba-tiba mendapat identitasnya. Pengaruh feminisme dari Barat juga masuk di situ. Jenis kelamin yang memang berbeda dan untuk dipasang bisa membuat masalah. Oh, manusia zaman sekarang, katanya, di malam yang lirih. Akhirnya kami membunyikan radio. Mungkin esok malam hujan turun dengan ritme suaranya yang khas. Aku menyeberangi kali yang airnya coklat. Di sana, di belahan wilayah yang jauh, mereka mendulang emas.

Tema siang yang berhubungan dengan terik dan kerja membuat tangan berkeringat. Tubuh-tubuh yang juga berkeringat. Lidahmu mengecap rasa asin yang mengingatkan laut. Mungkin masih ada garam di gunung ini, sebelum ia meletus esok harinya. Memahat tubuh mahoni menjadi perempuan dengan payudara tipis mengkilap. Kami akan bertahan di puncak ini, memandang perempuan setengah matang mendaki bukit dengan kaki jenjangnya yang kuning gading. Adakah ekstase senja yang memayungi keindahan warna kulit? Se sosok tubuh yang kelak membuat narasi tentang gerimis.

Aku tergoda untuk berhenti sejenak di situ. Kami mempunyai tujuan yang diam-diam dikenali burung-burung gagak, burung nasar, dan elang hutan. Akhirnya kami pun ikut melayang bersama mereka, seperti ikut mencari anak ayam dan ikan-ikan. Perutmu ditandai dengan ikat pinggang yang dikencangkan, seperti menahan lapar. Cakram matahari di atas sana masih setia mencengkeram. Ia membawa bulir-bulir cahaya mengkilap dari pelangi. Surat cinta itu melayang begitu saja, seperti daun kering yang sudah semestinya gugur melayang ke tanah. Tapi mata kami berkedip, seperti mendapat hikmad atas penampakan yang baru saja kami saksikan. Barangkali kami tengah memperbincangkan jiwa.

Berilah aku sebentuk ilham untuk menelusuri kembali jalan gelap yang kau ciptakan. Kami siap mendengar suaramu yang, meski serak-serak basah, bisa menikam makna. Katakanlah sebungkah gagasan, di mana kami akan bergandengan tangan menelusuri jembatan nasib. Kami sudah gerah dengan kalimat-kalimat madu yang hanya memekarkan tubuh. Lelaki pejalan sunyi itu telah sampai di tepian pantai. Kembang kretek bergulir ditiup angin. Lelaki itu mengambil sebatang rokok dari sakunya dan langsung menyalakannya dengan korek api zipo. Tepi pantai yang sunyi. Ia memandang ke selatan, dilihatnya hamparan laut luas bertepi cakrawala. “Aku rasa keindahan ini tak bisa dijadikan puisi”.

Assalamualaikum, katanya. Kami ingin bekerja dengan biasa saja, menjalankan rutinitas sehari-hari sebagaimana biasanya. Seperti kami butuh makan minum setiap hari. Tak ada yang luar biasa. Jadi, apanya yang luar biasa? Yang bisa menembus waktu hanyalah hasil imajinasi. Kami mohon rutinitas kami itu tolong jangan diganggu. Bahwa Tuhan senantiasa bersama kita, itu pasti. Barangkali memang tak ada yang harus terlalu dicemaskan. Sejak lahir kita sudah menyerah kalah. Tapi kenapa ada yang merasa kalah? Apakah hidup ini selalu memperhitungkan menang - kalah?

Mungkin akan ada puisi yang jatuh malam ini. Meskipun kepercayaan lita pada manfaat puisi semakin luntur. Dan terbukti banyak orang tak menulis puisi. Dengan kata lain, hanya sedikit penyair, hanya beberapa saja yang mau jadi penyair. Realitas ini sungguh menarik: bahwa penyair yang “konsisten” adalah kegilaan yang sungguh mengherankan. Apakah ada yang diam-diam mengagumi “ketabahan” seseorang yang kerjanya hanya merangkai kata-kata seperti puisi? Sebagai penulis, mungkin kita telah ditakdirkan selalu mempertanyakan sekelebatan pikiran dan ingatan yang nonsens. Selalu mencatat sesuatu yang dikira baik.

Boleh jadi benar apa yang dikatakan Chairil Anwar: hidup hanya menunda kekalahan. Maka, selagi kita menunggu kalah, dan seakan-akan saat ini kita masih menang, hidup adalah perbuatan. Itu dinyatakan oleh Sutrisno Bachir, Ketua DPP PAN. Sejumlah orang telah banyak mengundang inspirasi, memang. Mungkin karena ia populer, punya daya magnit kuat yang menarik ingatan kita padanya.Dan kita sudah terlalu berlebihan bicara tentang partai politik. Ini, rasanya, harus segera disudahi agar tak jadi muntah.

Raden Fatah Yasin, lahir di Banyuwangi 1962. Dia adalah salah satu dari 8 penyair mutakhir 2009 Jatim. Koordinator LSM Blambangan Anti Korupsi (BLAK). Pemimpin Umum Majalah Budaya Jejak. Sejumlah puisi dan esainya tersebar di media massa Jawa Pos, Bali Post, dan lain-lain. Juga dimuat di buku Antologi Puisi Indonesia (KSI, Jakarta, 1998). Antologi tunggalnya “Gagasan Hujan” diterbitkan PSBB, 2004. Pencipta puisi terbanyak (1721 puisi) pada Lomba Cipta Puisi Online Telkom 2006. Sejak tahun 80-an aktif menggerakkan apresiasi sastra dan teater di sekolah-sekolah, membentuk komunitas seni dikediamannya, KR 79, disamping juga sebagai pengusaha kecil kerupuk ikan Palembang. Fatah Yasin yang juga sarjana Manajemen Keuangan, ini beralamat di Jalan Rinjani No. 79, Singotrunan, Banyuwangi. HP: 081358102106. Email: fatahynoor@yahoo.com

Rabu, 14 Januari 2009

Gandrung dan Identitas Daerah

Oleh Hasan Basri

Di Banyuwangi berkembang berbagai jenis kesenian tradisional. Ada janger, kuntulan, kundaran, angklung caruk, barong, rengganis, gandrung dan masih banyak yang lain. Di antara sejumlah kesenian tradisional tersebut, gandrung menempati posisi istimewa sekaligus unik dilihat dari dinamika perkembangannya kaitan relasinya dengan negara, agama dan masyarakat.

Gandrung bagi banyak pengamat dan peneliti tak banyak beda dengan tayub, lengger, gambyong, teledek dan sejenisnya. Sebuah kesenian yang menampilkan seorang sampai empat orang perempuan dewasa menari, menembang, sendirian maupun berpasangan dengan penonton pria (pemaju) pada malam hari dengan iringan orkestra sederhana; gong, kethuk, keluncing (trianggel), biola, kendang. Namun bagi para tokoh di Banyuwangi gandrung tidak sekedar kesenian profan sekedar bersenang-senang menghabiskan malam, tapi sebuah kesenian yang sarat dengan nilai historis dan kepahlawanan.

Kesadaran sejarah atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan mencoba memberikan tafsiran makna dari gending-gending klasik yang dibawakan gandrung seperti gending padha nonton, sekar jenang, seblang lokinto, layar kumendhung dan lain-lain. Kemudian ditambah diperolehnya beberapa dokumen tulisan lawas penulis Belanda dan beberapa tulisan berbahasa Inggris yang membantu upaya penggalian makna tersebut. Berdasar hasil tafsiran makna gending-gending klasik tersebut lahir wacana bahwa gandrung adalah sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda. Analisanya begini; setelah Perang Puputan Bayu pada tahun 1771-1772 rakyat Blambangan yang hampir habis dan sisanya tinggal memencar dalam kelompok-kelompok kecil di pedalaman hutan, maka untuk konsolidasi perjuangan dan membangkitkan lagi semangat juang lahirlah kesenian gandrung yang berkeliling menghubungi sisa-sisa pejuang yang terpencar tadi. Kesimpulan ini berdasar tulisan John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi tahun 1926. Sebenarnya tulisan Scholte ini tidak memberikan data yang cukup jelas. Keyakinan fungsi perjuangan kesenian gandrung sebenarnya lebih bertumpu pada hasil pemaknaan terhadap syair-syair klasik. Wacana gandrung sebagai alat perjuangan ini kemudian berkembang menjadi keyakinan dan kesadaran kolektif di kalangan tokoh-tokoh di Banyuwangi. Hal ini terlihat pada tulisan-tulisan yang terbit di Banyuwangi seperti buku “Gandrung Banyuwangi” yang diterbitkan oleh DKB (Dewan Kesenian Blambangan) tanpa tahun, artikel di majalah Seblang edisi II tahun 2004 yang berjudul “Gandrung Kawitane Alat Perjuwangan” dan banyak tulisan lain yang diangkat di media lokal maupun nasional.

Kesadaran sejarah peran gandrung berjalan seiring dengan upaya pencarian identitas daerah yang mulai giat dilakukan Pemda sejak awal tahun 70-an. Gandrung sebagai kesenian masyarakat Using yang dianggap sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan yang paling gampang dari pada kesenian-kesenian lainnya. Selain alasan-alasan estetika, misalnya dari segi performance gandrung pasti lebih menarik dibanding angklung caruk yang seluruh pemainnya laki-laki, gandrung juga lebih populer dibanding kesenian-kesenian lainnya. Maka jadilah gandrung yang awalnya hanya dikenal di lingkungan masyarakat petani, perkebunan, nelayan yang erat dengan ritual, ditarik oleh negara menjadi identitas daerah yang sepenuhnya profan. Tahun 1975 lahirlah koreografi baru tari “Jejer Gandrung“ sebagai tari selamat datang yang digelar untuk acara-acara formal menyambut tamu negara. Sebuah tari yang mencoba merangkum seni pertunjukan gandrung yang terdiri dari babak jejer, paju dan seblang subuh yang dipentaskan semalam suntuk, diringkas hanya dalam durasi waktu 15 menit. Sebagai identitas, negara punya ukuran estetika sendiri yang ketat baik penari maupun panjak (penabuh gamelan) dan pelengkap performance lainnya. Dari sinilah kemudian gandrung sebagai kesenian memiliki dua basis pendukung, yaitu gandrung di komunitas awalnya yaitu gandrung terob dan gandrung sanggar. Gandrung terob adalah komunitas seniman kesenian gandrung dan masyarakat pendukungnya. Sedangkan gandrung sanggar adalah komunitas seniman yang menyuplai pementasan formal yang diminta negara.

Gandrung sebagai identitas bagi Banyuwangi yang multi etnik tidak selalu berada dalam satu kata. Gandrung berada dalam posisi tarik ulur dan diperdebatkan oleh kekuatan yang melingkarinya. Kekuatan tidak hanya dalam pengertian negara atau pemerintah daerah, melainkan juga wacana dominan dan nilai-nilai yang disepakati masyarakat. Dalam hal ini agamawan dengan teksnya sendiri soal ukuran-ukuran moral, budayawan dengan teksnya sendiri yaitu gandrung sebagai warisan sejarah yang luhur, negara dengan teksnya sendiri gandrung sebagai alat negara, semuanya berebut dan berpilin dengan kekuatannya masing-masing. Sedangkan komunitas gandrung terob tidak tahu menahu dan berada di luar kontestasi ini. Mereka berada dalam posisi yang dibaca.

Pergulatan ini berjalan intens walau tidak selalu secara terbuka. Kasus dibongkarnya patung gandrung di pelabuhan Ketapang atas permintaan kaum agamawan Ketapang menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini melibatkan juga anggota DPRD yang harus turun meninjau dan menindaklanjuti pengaduan keberatan masyarakat atas adanya patung gandrung yang berada tepat di depan masjid walau sebenarnya masih dalam area pelabuhan. Namun peran dominan negara dan wacana identitas daerah mengalahkan wacana-wacana kontra. Di tengah polemik gandrung sebagai identitas Banyuwangi di sidang-sidang DPRD, pada tahun 2003 keluar SK bupati nomor 147 yang menetapkan tari jejer gandrung sebagai tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian pemihakan terhadap gandrung yang bersifat politis menimbulkan akibat politis pula. Akibatnya ketika didirikan pusat latihan gandrung di desa Kemiren, program ini hanya berlangsung dua tahun karena pada tahun berikutnya anggarannya tidak disetujui oleh DPRD.

Di tangan negara, gandrung sebagai identitas daerah menjadi wacana dominan. Patung dan gambar gandrung menghiasai kota dan desa. Gambar gandrung menghias tempat sampah, pot bunga di trotoar, brosur pariwisata, baliho di perempatan jalan dan dinding perkantoran. Patung gandrung diletakkan di sudut-sudut taman, gapura kampung sampai pintu masuk kabupaten. Bahkan di pintu masuk dari utara di wana wisata Watu Dodol dibangun patung gandrung setinggi 12 m. Begitulah gandrung telah direngkuh negara dan karena menjadi identitas menghendaki tunggal, maka gandrung sebagai sesuatu yang dilihat, sesuatu yang dinilai semakin berada di tempat tinggi dan semakin kentara untuk diperdebatkan dan diperebutkan.

Setelah gandrung menjadi identitas daerah, menjadi taruhan image daerah, maka Pemda menerapkan standar estetika yang memenuhi unsur kepantasan laik jual dan membanggakan. Pada saat demikianlah kemudian ketika negara mengirimkan muhibah seni baik nasional maupun internasional terjadi proses marjinalisasi secara sistematis. Yang dipilih mewakili negara bukanlah komunitas gandrung terob melainkan gandrung sanggar yang lebih mampu memenuhi standar estetika yang ditetapkan negara. Disaat gandrung menjadi kebanggaan kolektif, justru komunitas aslinya termarjinalkan. Mereka tidak mempunyai kemampuan dan keberanian untuk berbicara, mereka lebih menganggapnya sebagai problem yang tak terucapkan.

Belum lagi problem relasinya dengan agama. Dengan semakin intensifnya proses purifikasi agama menempatkan gandrung berada pada posisi pesakitan. Gandrung distigma sebagai kesenian maksiyat dan tidak layak didekati. Konstruk agama dengan dengan seperangkat standar moralitas telah mereduksi estetika pertunjukan gandrung. Goyang pinggul, minuman keras, berbaurnya laki-laki dengan perempuan, kostum semuanya bertentangan dengan nilai dominan yang dikembangkan agama. Sekali lagi gandrung berada pada posisi yang lemah, sebagai pihak yang dinilai. Walau mereka sebenarnya memiliki ukuran nilai sendiri namun sekali lagi tak terucap dengan lantang. Mereka dalam posisi bertahan dan sering kali secara tak sadar menerima setigma dari luar sebagai kebenaran.

Dalam kaitan membangun tata sosial yang berkeadilan, memberikan kesempatan yang sama terhadap semua elemen masyarakat untuk berekspresi tanpa tekanan dari pihak lain, ketidakseimbangan relasi ini perlu diupayakan agar terjadi relasi yang seimbang antara komunitas gandrung terob dengan kekuatan dominan yang melingkupinya. Mereka diberdayakan agar mampu berfikir secara kritis membaca posisinya sendiri di tengah relasinya dengan kelompok lain. Membangun kemampuan mereka untuk menyadari dan berani menyuarakan kemarjinalannya, dan mampu mengevaluasi kekurangan mereka sendiri sangat penting dalam kerangka berfikir bahwa perubahan sosial akan menjadi lebih sehat dan memiliki daya perlawanan yang kuat apabila tumbuh dari komunitas itu sendiri. Bukan perubahan yang dibangun dari atau oleh pihak luar akan tetapi tumbuh dari kesadaran mereka sendiri.

Belambangan & Syair-syair lagu Endro Wilis

Oleh Dwi Pranoto


Tanah-hun Belambangan sugih alas lan gunung jejer-jejer
Sawahe gumelar jembar mrana-mrene disigar kali
Pesisire ngubengi latar wetan kaya kalung rante ngalungi perawan ayu
(Tanahku Belambangan melimpah hutan dan gunung berjejajar
Sawah menghampar luas diiris sungai sana-sani
Pantai melingkup latar timur laksana kalung rantai melingkar leher gadis ayu)
(petikan dari Tanah-hun Belambangan, Endro Wilis

Nama Belambangan dapat ditemukan dalam kitab Negarakretagama yang ditulis pada tahun 1927 Saka atau 1365 Masehi dalam kata Balungbung yang berarti wilayah lumbung padi. Bahkan menurut Dr. J.W. de Stoppelaar dalam Hukum Adat Belambangan (terjemahan Pitoyo Budhy Setiawan), nama Belambangan telah dikenal sejak 900 Masehi. Hal ini juga dinyatakan oleh Poerbatjaraka dalam Dagteening van het Und-javaansche Ramayana. Lebih tua dari pernyataan Poerbatjaraka, Drs. Abdul Choliq Nawawi dalam makalah seminar Sejarah Belambangan di Banyuwangi yang berjudul Belambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV – XVIII, mengemukakan bahwa nama Barambanan dalam Babad Buleleng, secara ethimologis mungkin dapat berubah menjadi Belambangan. Dan berdasar kajian ethnolinguistik, kata Belambangan berasal dari bahasa Austronesia purba yang kemudian diwariskan secara linear dalam bahasa Melayu Purba. Jika demikian, dapat diduga bahwa keberadaan Belambangan mungkin telah dikenal sejak jaman prasejarah, sejaman dengan keberadaan situs purba Gua Istana dan Gua Padepokan yang berada dalam hutan lindung Alas Purwo. Di dalam hutan lindung Alas Purwo , sebelah selatan Banyuwangi, juga diperkirakan sebagai pusat kerajaan Belambangan pada masa pemerintahan raja Bhre Wirabhumi.
Dalam Pararaton disebutkan bahwa Bhre Wirabhumi adalah putra raja Hayam Wuruk dari selir yang diberi wewenang untuk memerintah Kedaton Timur atau wilayah Belambangan. Namun setelah Hayam Wuruk wafat, Bhre Wirabhumi melancarkan pemberontakan terhadap Majapahit karena dirajakannya Wikramawardhana yang merupakan suami dari Kusuma-wardhani, putri Hayam Wuruk dari permaisuri. Dalam Pararaton pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi itu dikenal sebagai perang Paregreg. Pada awal pertempuran, Majapahit banyak menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Belambangan dapat ditundukan dan Bhre Wirabhumi sendiri gugur. Gugurnya Bhre Wirabhumi dengan kepala yang dipenggal oleh Raden Gajah atau Bhra Narapati, kemudian dikisahkan kembali oleh pujangga keraton Mataram dalam serat Damarwulan yang sering dilakonkan dalam wayang krucil. Fiksionalisasi tokoh sejarah Bhre Wirabhumi sebagai tokoh antagonis Menak Jinggo yang berperilaku dan bertampang buruk, merupakan upaya Mataram untuk mendiskriditkan Belambangan secara kultural dan politik, setelah Mataram gagal menguasai kerajaan yang berpusat di ujung timur pulau Jawa itu secara penuh. Cerita Damarwulan sendiri menjadi populer di Banyuwangi setelah menjadi lakon wajib dalam sebuah teater rakyat Banyuwangi yang diadaptasi dari drama Arja yang berasal dari Bali. Bahkan karena sangat populernya tokoh Menak Jinggo dalam cerita Damarwulan, tokoh antagonis tersebut sering dianggap tokoh sejarah dan diyakini sebagai leluhur orang-orang Banyuwangi.
Kenyataannya, sejarah Belambangan sebelum masuknya VOC merupakan sejarah yang berkabut. Para sejarawan tidak dapat menunjukan batas-batas wilayah Belambangan ataupun pusat kerajaannya secara absolut. Karena miskinnya data fisik yang ditinggalkan Belambangan pada masa pra-VOC, akhirnya sejumlah Babad sering menjadi rujukan primer untuk menggali sejarahnya. Namun, berbagai data yang ada dalam babad yang satu dengan babad yang lainnya tak jarang mengandung pertentangan yang tak terjembatani. Jadilah Belambangan menjadi wilayah imajiner yang lebih dikenal dalam dunia panggung teater rakyat.
I Made Sudjana dalam buku Negari Tawon Madu mengatakan bahwa Belambangan tidak pernah mengalami jaman kertayuga yang sesungguhnya dimana kehidupan seni, sastra, ekonomi mengalami masa keemasannya. Hal ini, menurut I Made Sudjana disebabkan oleh tingginya intensitas dan kuantitas konflik politik yang terjadi di Belambangan yang sering muncul dalam bentuk kekerasan fisik yang mengakibatkan seringnya pusat kerajaan Belambangan berpindah. Namun, seni yang hidup dan berkembang di Belambangan adalah seni yang tidak tumbuh dalam lingkungan keraton dan tidak dihidupi oleh keraton. Kehidupan seni di Belambangan dihidupi dan memiliki domain dalam masyarakat (baca: rakyat jelata). Dalam upacara ritual yang tua, Seblang, dapat disaksikan fragmen-fragmen yang mewakili kehidupan pesisir dan persawahan di dalam gerakan-gerakan tariannya dan teks-teks syairnya. Seperti dalam syair gending Layar-layar Kumendung berikut:
Layar-layar Kumendung

Layar-layar Kumendung
Ombak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Temenggung nunggang kereta

Lilira-lilira kantun
Hang kantun liliro ugo
Ya sapanen dayoh rika
Mbok sungrupo milu tama

Lilira-lilira gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira

Terjemahan bebasnya:
Layar-layar Terbentang

Layar-layar terbentang
Ombak pasang di lautan
Lautan tuan agung
Tumenggung naik kereta

Bangun, bangunlah kalian yang tidur
Yang tidur cepatlah bangun
Temuilah tamumu
Kakak sungrupo(?) ikut cengkrama

Bangun, bangunlah segera
Sabukan kain di pinggang
Saudara-saudara bangunlah
Sawah kekayaan tak ternilai

Seblang merupakan sebuah upacara ritual yang merefleksikan kehidupan yang dinafasi oleh gelora ombak lautan dan desir angin persawahan. Sebagaimana seni rakyat yang lain, Seblang pertama-tama terbentuk dari interaksi material antara manusia dan alam serta hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah aktifitas produksi. Dan di atas landasan hubungan material tersebut kemudian terbentuk bangunan estetis dan spiritual yang mempunyai makna komunal.
John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi menggambarkan ekspresi yang khas dalam Gandrung dengan membandingkannya dengan ekspresi kesenian mataraman: “Harus diperhatikan bahwa penari-penari Legong (Bali) dan Gandrung atau penari-penari rakyat bukanlah pembawa cap dari etiket kekratonan yang berciri mengekang dan menghaluskan segala ekspresi vital . . .” John Scholte menamakan gelora dan kesahajaan dalam ekspresi seni Belambangan sebagai kedinamisan estetis. Gelora laut dan kesahajaan persawahan yang menafasi seni Gandrung dan Seblang ini kemudian mengalami penafsiran ulang dan mendapatkan aktualitasnya dalam syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis. Kedinamisan estetis yang terlahir sebagai kegembiraan erotik dalam Gandrung dan keritmisan ritual dalam Seblang mengalami perwujudannya kembali dalam syair-syair Endro Wilis yang sarat dengan kegetiran modernitas. Pada akhirnya perubahan dan pencapaian tekhnologi produksi mengakibatkan juga perubahan dalam hubungan antar manusia (struktur sosial) dan relasi antara manusia dengan alam, yang diikuti pula dengan perubahan fungsi seni dalam masyarakat. Oleh karenanya pada masa kini syair-syair Seblang dan Gandrung “gagal” berhubungan dengan realitas aktual, tapi tidak demikian dengan syair-syair gubahan Endro Wilis yang lugas dan simbolik. Jika syair-syair Seblang mencerminkan suatu keselarasan antara alam dan manusia, serta manusia dan manusia sebagai hal aktual, dalam Gandrung, keselarasan merupakan suatu hal yang hilang dan menjadi romantik. Sedangkan dalam syair-syair Endro Wilis keselarasan itu tak lagi menjadi sesuatu yang romantik, namun hilangnya keselarasan itu adalah hal yang dialami bersama segala akibat yang ditimbulkannya. Pahitnya kehidupan masa kini, yang terutama menimpa rakyat jelata, tercermin dengan jelas dalam syair-syair Endro Wilis, sebagai contoh simak syair lagu berikut:

Segara

Segara ya tantangan
Segara panguripan
Segara dadi sawahe buruh nelayan
. . .

Mula sing bisa pisah
Bengi lan ya raina
Iku dudu ukuran
ngandrung laut paribasan anak nong gendongan
. . .

Alune kembang ombak
Kudang ombake ati
Hasile megawe ngetoq tenaga
Nublek nong tangane juragan

Terjemahan bebasnya:
Laut

Laut adalah tantangan
Laut adalah penghidupan
Laut jadi sawah bagi buruh nelayan
. . .

Betapa tak terpisahkan
Malam maupun siang
Itu bukan bandingan
Nggandrung laut ibarat anak dalam buaian
. . .

Ayun bunga ombak
Lipur ombaknya hati
Hasil kerja peras tenaga
Tumpah di tangan majikan

Perbenturan antara kegembiraan dan ketertindasan dalam aktivitas produksi dalam kehidupan modern tergambar secara lugas dalam syair Segara. Kegembiraan infantil ketika menceburi alam yang diibaratkan dalam syair sebagai “anak dalam buaian” merupakan manifestasi kegembiraan yang “mewarisi” syair Empiq-empiq dalam Seblang yang mengungkapkan kegembiraan anak-anak memancang baling-baling bambu. Seperti syair-syair dalam Seblang, dalam syair-syair yang digubah oleh Endro Wilis tidak ada suatu sikap yang bermusuhan dengan alam. Kesengsaraan manusia tidak disebabkan oleh alam, tapi oleh perilaku manusia. Bangunan sistem produksi modern yang berlandas pada suatu penguasaan atas alat-alat produksi dan kapital telah melahirkan kelompok besar masyarakat yang tertindas. Selain Segara, syair yang mengartikulasikan suara masyarakat yang tertindas dapat ditemukan dalam beberapa syair seperti Nelayan Jaring Kambang, Paman Tani, atau Wong Dodol Gedeg.
Namun, dalam syair-syair Endro Wilis dapat juga ditemukan suatu ekspresi kenikmatan tubuh. Suatu kenikmatan yang dirasakan tubuh salah satunya dapat berasal dari kesahajaan hidup kala menyantap makanan. Seperti lagu syair Genjer-genjer gubahan M. Arif, Pindhang Koyong atau Pelasan Sempenit gubahan Endro Wilis pun merupakan ungkapan kegembiraan hidup yang dapat ditemukan dalam hal yang sangat sederhana.
Pindhang Koyong

Selak mambu angin!
Kerapu, Cundhing lan Seranggigi iki,
Goq sampe bedhug, Maq,
Yara sing wurung manju, eman
Mulane gancangan!
Endhase, Maq, pindhagen koyong!
. . .

Tentu sangat mengherankan sekali jika lagu Genjer-genjer yang mengungkapkan sebentuk kegembiraan atas hal yang sederhana; mencari, mengumpulkan, memasak, dan menyantap sebuah jenis sayuran, dihakimi menyiarkan sebuah pandangan politik yang dianggap subversif. Tapi kenyataannya stigma politik ini telah terjadi dalam khazanah pertumbuhan lagu-lagu daerah Bayuwangi. Dalam film G.30S PKI yang pada masa Orde Baru menjadi film wajib tayang di televisi saat tanggal 1 Oktober selama bertahun-tahun,Genjer-genj
er telah mengalami suatu maltafsir visual paling brutal. Trauma politik yang diciptakan oleh rezim yang paranoid itu hampir menghapus ingatan masyrakat akan lagu-lagu daerah Banyuwangi yang ada di masa awal pertumbuhannya seperti Nandur Jagung ciptaan M. Arif ataupun Segara ciptaan Endro Wilis.
Represi politik rezim Orde Baru bagaimanapun ikut memainkan peran penting dalam kerja kreatif Endro Wilis. Sebelum Endro Wilis dipenjarakan di Malang tanpa proses pengadilan, ketika ia bertugas sebagai tentara di Kalimantan Barat, ia menggubah sebuah syair yang penuh kecemasan mengenai peristiwa teror tahun 1965. Syair lagu Mbok Irat sangat bagus sekali sebagai pengingat apa sebenarnya yang terjadi pada masa-masa yang penuh penculikan itu.
Selepas tahun 1965, selama dan sebebas dari penjara, Endro Wilis banyak menggubah lagu-lagu yang lebih biografis semacam Ulan Andung-andung. Pada masa-masa itu Endro Wilis tampak mengalami suatu tahap “asketik” dimana ia banyak menggubah lagu-lagu yang bersyair mengenai kehidupan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Dalam periode ini Endro Wilis benar-benar terserap dalam mortalitas bentuk-bentuk fisik kehidupan, kepelikan nilai baik-buruk. Endro wilis menggali sebuah pelajaran falsafi dari apa yang tengah dialaminya melalui sebuah perumpamaan-perumpamaan kehidupan binatang dan tumbuhan. Di dalam syair-syairnya kehidupan fisik bergetar oleh kefanaan yang dikandungnya sendiri. Namun kehidupan sendiri, dalam bentuk tertingginya, mengalami suatu resonansi yang menembus batas penghabisan bentuk fisiknya. Bersama spektrum kehidupan yang luas ini syair-syair Endro Wilis melepaskan diri dari bentuk biografisnya sendiri. Sebagaimana syair Dhonge Mekar yang muram, bahwa kefanaan merupakan hal yang niscaya. Bukanlah kefanaan yang mesti dihindari namun kehormatan atau harga dirilah yang harus dijaga sampai kehidupan direnggut kefanaan; Wirang gedhe kadhung sampe alum nong tengah dhalan/ Alum-alumo nong bale umah, tumeko garing malah saya arum.

Sejarah tanah Belambangan adalah sejarah yang penuh konflik, sejarah yang dipupuk oleh kekerasan fisik dari perang Paregreg, teror dan pembunuhan politik, sampai teror yang menggerak massa melakukan pembunuhan dukun santet. Namun, jika pada masa lalu konflik hanya berkisar pada raja, kaum bangsawan, dan balatentaranya, maka sejak masuknya VOC rakyat tanah Belambangan ikut terseret dan berpusar dalam berbagai konflik kekerasan fisik. Gandrung dan Seblang yang dihidupi masyarakatnya dari kehidupan pantai dan persawahan pada akhirnya terbentur juga pada konflik-konflik yang secara radikal mengubah struktur sosial masyarakat. Vitalitas kehidupan yang pada mulanya tertenung dalam asketisme estetis ritual Seblang dan erotisme Gandrung, kemudian meledak dalam bentuk pembangkangan para petani yang pergi meninggalkan sawah-sawahnya, pertempuran brutal di Bayu, atau ketaksudian penduduk Bedewang untuk tunduk. Pada masa merdeka pun masyarakat Belambangan tak luput dari konflik seperti teror dan pembunuhan pada tahun 1965 atau teror ninja. Konflik yang terjadi sejak 1965, bukan lagi konflik yang mempertentangkan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai belaka, namun juga telah mempertentangkan antara lapisan-lapisan masyarakat yang sejajar bahkan antara lapisan masyarakat yang tertindas.
Tak ubahnya sejarah Belambangan, riwayat kehidupan Endro Wilis sendiri merupakan suatu kisah tragis. Kekuasaan politik telah merampas semua hak yang mestinya ia dapatkan. Penggubah, budayawan, dan veteran ini mengandaikan kisah tragis masa tuanya dalam sebuah syair lagu yang tragik-komik; Man, Paman butol karung, angger liwat hun eling awak/ Saiki hun magih kuwasa, mbisok goq wis leren dadi kaya barang rombengan” (dua baris terakhir syair lagu Paman Butol Karung). Keinsyafan akan kefanaan dan daya hidup merupakan kekuatan dialektik yang menjadi api dalam syair-syair lagu gubahan Endro Wilis. Namun, lebih dari itu, khazanah syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis merupakan potret manusia yang hidup bersama seluruh hasrat dan perasaan yang dimilikinya bersama alam, kerja, kebudayaan, dan peradaban yang dilahirkannya.
Dalam usia senjanya ini Endro Wilis telah menggubah lebih dari tiga ratus lagu daerah Banyuwangi. Seperti yang tercermin dalam banyak syair lagunya, fisik yang mulai melemah tak juga memadamkan gairahnya untuk terus menggubah lagu dan terus semangat untuk menyuarakan suara orang-orang yang dipinggirkan. Memang tak ada pilihan lain, untuk menghargai hidup tak ada cara lain selain mengabdikannya dalam sebuah kerja.
**************

Catatan:
Semua syair lagu-lagu yang ditulis kembali di sini diperoleh dari Endro Wilis, kecuali lagu Segara. Menurut Endro Wilis, ia sendiri sudah tak lagi menyimpan dokumen syair lagu itu.Syair lagu Segara diperoleh dari seorang sumber yang “hafal” lagu tersebut.

Dimuat di Lepaspragraf#2/2/2005

Nagari Tawon Madu Yang Tanpa Madu

Oleh Dwi Pranoto


Tidak seperti yang selama ini dipercayai oleh sebagian besar masyarakat, Nagari Tawon Madu mengungkap luas wilayah Blambangan sesungguhnya pernah mencapai kurang lebih sepertiga wilayah jawa Timur. Batas kekuasaanya di sebelah barat adalah Panarukan yang ada di pantai utara dan Puger yang ada di pantai selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatas selat Bali. Wilayah Blambangan menjadi lebih lebih kecil seperti wilayah Kabupaten Banyuwangi saat ini karena VOC, atas usulan pembesar Blambangan yakni Karangandul, pada tanggal 23 Agustus 1773 membagi wilayah Blambangan lama menjadi dua bagian: Blambangan Timur dan Blambangan Barat. Blambangan Timur inilah yang kemudian disebut Blambangan dan beribukota di Banyuwangi.

Nagari Tawon Madu sepintas menyajikan sejarah Blambangan secara kronologis dengan membubuhkan atribut tarikh waktu yang berurutan di setiap judul bab. Namun, isi dalam bab-bab Nagari Tawon Madu sesungguhnya menyandarkan alur penulisannya pada sub tema-sub tema yang membuat waktu sejarah seperti berjalan acak. Dengan demikian atribut tarikh waktu yang menyertai judul bab hanya berfungsi sebagai bingkai.

Sebagaimana disarankan oleh judul buku yang menganalogkan model atau sistem kekuasaan politik Blambangan, Nagari Tawon Madu banyak mengungkap aspek-aspek politik kerajaan Blambangan. Nagari Tawon Madu menyoroti pergantian dan perpindahan kekuasaan di Blambangan dari tahun 1763 - 1774 beserta segala kekacauan dan akibat-akibatnya. Berbekal sumber informasi yang melimpah dan luas dari arsip-arsip VOC, babad-babad, buku-buku, dan artikel-artikel yang sebagian sezaman, I Made Sudjana tidak saja menceritakan kembali pertikaian politik dan peperangan. Ia juga mampu merekonstruksi sistem kekuasaan politik dan sistem pemerintahannya dari pusat hingga dusun, struktur sosial politik masyarakat, dan alur perdagangan laut maupun darat. Disamping secara detil membeberkan intrik politik dalam lingkungan kerajaan maupun watak-watak relasi politik yang terjalin antara Blambangan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. I Made Sudjana juga merinci bagaimana dinamika politik yang terjadi berjalinkelindan dengan kepentingan-kepentingan perniagaan. Hal lain yang tak kurang penting yang diupayakan oleh penulis Nagari Tawon Madu adalah menyajikan kembali istilah-istilah “arkaik” seperti patinggi, lancing nom, lancing tuwek atau wanadri dan digunakan secara fungsional dalam teks.

Namun, barangsiapa yang membaca Nagari Tawon Madu berharap hendak mencari kaitan yang jelas antara zaman Blambangan dengan kehidupan Banyuwangi hari ini pasti akan menanggung kekecewaan. Sejarah Blambangan yang tersaji dalam Nagari Tawon Madu seperti hanya berjalan dari satu peperangan ke peperang yang lain. Zaman Blambangan dan Banyuwangi hari ini seolah diantarai oleh jurang yang tak terjembatani. Hal yang pasti adalah Nagari Tawon Madu hampir-hampir absen menyajikan kehidupan kultural masyarakat Blambangan lama. Tawon yang bersarang dalam Nagari Tawon Madu sepertinya hanya tawon-tawon serdadu. Tanpa tawon-tawon pekerja yang mampu menghasilkan madu budaya. Padahal sangat mungkin keterkaitan antara zaman Blambangan dan Banyuwangi hari ini banyak ditemukan dalam bentuk-bentuk atau elemen-elemen budaya Blambangan lama yang masih tersisa pada hari ini.

Absennya tinjauan terhadap kehidupan budaya pada zaman Blambangan bagaimanapun tak hanya disebabkan oleh fokus kajian yang hanya menitikberat pada kehidupan politik. Masa kertayuga Blambangan yang didefinisikan oleh I Made Sudjana secara berbeda dibanding dengan definisi yang lazim setidaknya telah menyiratkan suatu argumentasi mengenai absennya tinjauan budaya dalam Nagari Tawon Madu. I Made Sudjana menyatakan bahwa “…kertayuga di Blambangan tidak berarti zaman keemasan yang sering dihubungkan dengan berkembangnya seni-sastra, dan kebudayaan pada umumnya. Kertayuga di Blambangan menunjuk kepada kurun waktu yang bebas dari konflik fisik”.

Namun, bila melihat bentuk-bentuk seni tardisi yang ada di Banyuwangi saat ini sungguh mustahil bila dikatakan di zaman Blambangan tidak berkembang seni-budaya sama sekali. Bahwa beberapa seni tradisi di Banyuwangi saat ini, setidaknya jika menilik dari simbol-simbolnya, sangat mustahil berasal dari masa Banyuwangi modern. Dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram H.J. De Graff juga menulis bahwa Sunan Mataram (Sultan Agung) gemar menonton wayang di Blambangan karena keahlian sang dalang. Sedangkan Zoetmulder dalam Kalangwan menyatakan bahwa kidung Sritanjung dan Sudamala boleh jadi berasal dari Blambangan pada abad 17 sampai 18. Namun, Zoetmulder menambahkan bahwa Sritanjung dan Sudamala merupakan kidung yang bersifat kerakyatan. Boleh jadi “sifat kerakyatan” inilah yang membuat I Made Sudjana luput memperhatikan perkembangan seni-budaya pada masa Blambangan. Apalagi Nagari Tawon Madu bisa dikatakan kajian sejarah yang “istana sentris”.

Sifat kerakyatan dalam seni-budaya masa Blambangan ternyata masih jelas terlihat dalam sebagian besar seni-budaya pada masa Banyuwangi, seperti Gandrung, Seblang, atau Kebo-keboan. Sifat kerakyatan ini juga nampak pada laporan Pigeaud (lihat bundel beberapa tulisan tentang Blambangan dan Banyuwangi dari penulis seperti Pigeaud dan Dr. F Erp yang diterjemahkan Pitoyo Boedhy Setiawan - tulisan tangan, belum diterbitkan) mengenai beberapa bentuk kesenian yang sudah punah seperti Wayang Thakul dan permainan rakyat (ritual?) seperti Gitikan.

Sangat mungkin persepsi yang dibangun oleh I Made Sudjana mengenai Blambangan yang “tidak berbudaya” ini juga melandasi karya-karya fiksi seperti Berandal Blambangan (cerbung karya Purnawan Tjondronegoro dimuat di Suara Pembaruan 1988) atau Serat Damarwulan (menurut De Graf karangan Pangeran Pekik dari Surabaya). Barangkali kehidupan politik dalam istana Blambangan yang seringkali jatuh dalam kemelut memang tak sempat mengembangkan kehidupan seni-budaya secara penuh. Namun kehidupan masyarakat yang berlandas pada keyakinan tertentu ternyata mampu menumbuhkembangkan kehidupan seni-budaya yang beragam dan bahkan beberapa produknya masih dapat kita lihat pada hari ini.***

Kronik Blambangan Center

10 Januari 2009, jam: 17.00 - 20.00 Wib
Gedung Juang 45, Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia.
Peringatan Harlah I Made Sudjana (Januari 1952 - Januari 2009)
Acara : Bedah Buku Nagari Tawon Madu karya I Made Sudjana
Sejarah Politik Blambangan pada abad XVIII
Pembicara : Drs. Choliq Nawawi (sejarawan/penulis buku Sejarah Budaya Banyuwangi), Sunarlan (antropolog/ Universitas Jember). Pembanding: Armaya.
Penyelenggara: Kokosanceria
Kontak: Sereyano (08136626267)
Email: blambangan.center@gmail.com

NAGARI TAWON MADU
Penulis I Made Sudjana
Edisi: Cet. 1.
Penerbit : Larasan-Sejarah, Kuta Bali, 2001.
Printer Description xii, 124 p. : ill., maps ; 21 cm.
ISBN 9799625009

Studi tentang sejarah Blambangan belum banyak diadakan, malahan boleh dokatakan tidak ada lecua;li sebuah karangan oleh C. Lekkerkerker yang diterbitkan oleh majalah Indische Gids pada tahun 1923. Dengan demikian penerbitan karya I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, ini memang sudah sangat diperlukan agar masyarakat umum mengenal sejarah daerah yang paling timur di pulau Jawa ini.

Umumnya sejarawan Indonesia hanya memilih sejarah konyemporer sebagai obyak kajiannya. Tidak banyak yang berani menjelajahi sejarah tentang abad-abad yang lalu, terutama karena sebagian besar sumbernya adalah arsip-arsip dalam bahasa Belanda. Sumber-sumber primer yang digunakan untuk menyusun buku ini ternyata sebagian besar berasal dari arsip VOC yang belum pernah dipakai sejarawan lainnya. Oleh sebab itu makin jelas lagi pentingnya penerbitan buku ini yang mengungkapkan dinamika daerah yang belum banyak dikenal masyarakat umum.